Minggu, 09 Oktober 2011

jalan berfikir islami


ILMU MANTIQ


Definisi dan Urgensi Mantiq

Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir 1. Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar. 2. Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).

Ilmu dan Idrak

Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.

Dharuri dan Nadzari

Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.

Kulli dan Juz'i

Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja. Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.

Nisab Arba'ah

Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
  1. Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
  2. Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
  3. Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
  4. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.

Hudud dan Ta'rifat

Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.

Macam-Macam Definisi (Ta'rif)

Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
  1. Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
  2. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
  3. Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
  4. Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".

Qadhiyyah (Proposisi)

Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).

Macam-macam Qadhiyyah

Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.

Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah

Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:
  1. Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan
  2. Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
  3. Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
  4. Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.

Hukum-Hukum Qadhiyyah

Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.
  1. Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
  2. Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
  3. Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
  4. Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar.
Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".

Tanaqudh

Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
  1. Kesamaan tempat (makan)
  2. Kesamaan waktu (zaman)
  3. Kesamaan kondisi (syart)
  4. Kesamaan korelasi (idhafah)
  5. Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
  6. Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).
Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
  1. Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
  2. Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
  3. Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).

Macam-macam Qiyas

Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.

1. Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).

Empat Bentuk Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:

a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".
Syarat-syarat syakl kedua.

a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga.

a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.

a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.

Qiyas Istitsna'i

Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".

Jumat, 07 Oktober 2011

قواعد البلاغة



المقدمة
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه وسلم، وبعد.
فهذه رسالة موجزة في علم البلاغة، وضعتها للمبتدي كي يسهل له فهم هذا العلم وولوجه.
ولما كان كتاب البلاغة الواضحة لعلي الجارم ومصطفى أمين من أسهل الكتب في هذا العلم، رأيت أن أجمع قواعده، مع ضرب مثال لكل قاعده أو مسألة، فجاءت رسالة سهلة ماتعة، فأرجو من قارئها الدعاء لي بظهر الغيب والله المستعان.






الفصل الأول
علـم البيـان

التشبيـه
أ- تعريف التشبيه:
هو: بيان أن شيئا أو أشياء شاركت غيرها في صفة أو أكثر بأداة هي الكاف أو نحوها ملفوظة أو ملحوظة.

ب- أركان التشبيه:
أركان التشبيه أربعة هي: المشبه والمشبه به ويسميان طرفا التشبيه وأداة التشبيه ووجه الشبه ويجب أن يكون أقوى وأظهر في المشبه به منه في المشبه.
كقول الشاعر:
أنت كالليث في الشجاعة والإقـ   ـدام والسيف في قراع الخطوب

ج- أقسام التشبيه:
1-             التشبيه المرسل وهو: ما ذكرت فيه الأداة.
نحو:
وكأن أجرام النجوم لوامعا    درر نثرن على بساط أزرق
2-             التشبيه المؤكد وهو: ما حذفت منه الأداة.
مثل:
قوله تعالى: )وهي تمر مر السحاب(
3-             "   المجمل وهو: ما حذف منه وجه الشبه.
مثل: "العالم سراج أمته".
4-             "  المفصل وهو: ما ذكر فيه وجه الشبه.
كقول الشاعر:
أنت كالشمس في الضياء وإن جا   وزت كيوان في علو المكان
5-             "  البليغ وهو: ما حذفت منه الأداة ووجه الشبه.
نحو: "علي أسد"

د- تشبيه التمثيل:
يسمى التشبيه تمثيلا إذا كان وجه الشبه فيه صورة منتزعة من متعدد، وغير تمثيل إذا لم يكن وجه الشبه كذلك.
كقول الشاعر:
وكأن الهلال نُون لجين   غرقت في صحيفة زرقاءِ

ل- التشبيه الضمني:
هو: تشبيه لا يوضع فيه المشبه والمشبه به في صورة من صور التشبيه المعروفة بل يلمحان في التركيب.
وهذا النوع يؤتى به ليفيد أن الحكم الذي أسند على المشبه ممكن الوقوع.
كقول الشاعر:
من يهن يسهل الهوان عليه    ما لجرح بميت إيلام

هـ- أغراض التشبيه:
أغراض التشبيه كثيرة منها:
1-    بيان إمكان المشبه، وذلك حين يسند إليه أمر مستغرب لا تزول غرابته إلا بذكر شبيه له.
كقول الشاعر:
كم من أب قد علا بابن ذرا شرف   كما علت برسول الله عدنان
2-    بيان حاله، وذلك حينما يكون المشبه غير معروف الصفة قبل التشبيه فيفيده التشبيه الوصف.
مثل:
كأن قلوب الطير رطبا ويابسا   لدى وكرها العناب والحشف البالي

3-     بيان مقدار حاله، وذلك إذا كان المشبه معروف الصفة قبل التشبيه معرفة إجمالية وكان التشبيه يبين مقدار هذه الصفة.
كقول الشاعر:
مداد مثل خافية الغراب   وقرطاس كزقزاق السحاب
4-    تقرير حاله: كما إذا كان ما أسند إلى المشبه يحتاج إلى التثبيت والإيضاح بالمثال.
كقول الشاعر:
    إن القلوب إذا تنافر ودها   مثل الزجاجة كسرها لا يجبر
5-              تزيين المشبه أو تقبيحه.
كقول الشاعر:
   مدد يديك نحوهم احتفاء   كمدهما إليهم بالهبات
وقول آخر:
وتفتح –لا كانت- فماً لو رأيته   توهمته بابا من النار يفتح

و- التشبيه المقلوب:
هو جعل المشبه مشبها به بادعاء أن وجه الشبه فيه أقوى وأظهر.
كقول الشاعر:
وبدا الصباح كأن غرته   وجه الخليفة حين يمتدح

الحقيقة والمجاز

أ‌-                    المجاز اللغوي:
المجاز اللغوي هو: اللفظ المستعمل في غير ما وضع له لعلاقة مع قرينة مانعة من إرادة المعنى الحقيقي.
والعلاقة بين المعنى الحقيقي والمعنى المجازي قد تكون المشابهة وقد تكون غيرها والقرينة قد تكون لفظية وقد تكون حالية.
كقول الشاعر:
قامت تظللني من الشمس   نفس أحب إلى من نفسي
قامت تظللني ومن عجب   شمس تظللني من الشمس
وقول آخر:
بلادي وإن جارت علي عزيزة   وأهلي وإن ظنوا علي غضاب.
وقول آخر:
لعيني كل يوم منـك حـظ  تحيـر منـه في أمـر عجـاب
حِمالة ذا الحسام على حسام   وموقع ذا السحاب على سحاب




ب- الاستعارة التصريحية والمكنية:
الاستعارة من المجاز اللغوي وهي تشبيه حذف أحد طرفيه، فعلاقتها المشابهة دائما، وهي قسمان:
1-              تصريحية: وهي ما صرح فيها بلفظ المشبه به.
كقول الشاعر:
ناهضتهم والبارقات كأنها   شعل على أيديهم تلتهم
وقول آخر:
لما غدا مظلم الأحشاء من أشر   أسكنت جانحتيه كوكبا يقد
2-              مكنية: وهي ما حذف فيها المشبه به ورمز له بشيء من لوازمه.
كقول الشاعر:
وإذا المنيت أنشبت أظفارها   ألفيت كل تميمة لا تنفع

ج- تقسيم الاستعارة إلى أصليه وتبعية:
- تكون الاستعارة أصلية إذا كان اللفظ الذي جرت فيه اسما جامدا.
كقول الشاعر:
يمج ظلاما في نهار لسانه   ويفهم عمن قال ما ليس يسمع  
-   "        "     تبعية إذا كان اللفظ الذي جرت فيه مشتقا أو فعلا.
كقول الشاعر:
قوله تعالى: )ولما سكت عن موسى الغضب أخذ الألواح...(
وكل تبعية قرينتها مكنية، وإذا أجريت الاستعارة في واحدة منها امتنع إجراؤها في الأخرى.

د- تقسيم الاستعارة إلى مرشحة ومجردة ومطلقة:
1- الاستعارة المرشحة: ما ذكر معها ملائم المشبه به
كقوله تعالى: )أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرُوُاْ الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِّجَارَتُهُمْ(.
2-     "     المجردة: ما ذكر معها ملائم المشبه.
كقول الشاعر:
فإن يهلك فكل عمود قوم   من إلنيا إلى هُلك يصير
3-     "    المطلقة: ما خلت من ملائمات المشبه به أو المشبه.
كقوله تعالى: )إنا لما طغى الماء حملناكم في الجارية(.
وقول الشاعر:
قوم إذا أبدى ناجذيه لهم   طاروا إليه زرافات ووحدانا
ولا يتم الترشيح أو التجريد إلا بعد أن تتم الاستعارة باستيفائها قرينتها لفظية أو حالية، ولهذا لا تسمى قرينة التصريحية تجريدا ولا قرينة المكنية ترشيحا

هـ- الاستعارة التمثيلية:
هي تركيب استعمل في غير ما وضع له لعلاقة المشابهة مع قرينة مانعة من إرادة معناه الأصلي
مثل:
-     ومن يك ذا فم مر مريض   يجد مرا به الماء الزلالا
يقال: لمن لم يرزق الذوق لفهم الشعر الرائع

و- المجاز المرسل:
هو: كلمة استعملت في غير معناها الأصلي لعلاقة غير المشابهة مع قرينة مانعة من إرادة المعنى الأصلي
من علاقات المجاز المرسل:
1-              السببية: نحو: "رعينا الغيث".
2-              المسببية: نحو: أمطرت السماء نباتا".
3-              الجزئية: كقوله تعالى: )قم الليل إلا قليلا(.
4-              الكلية:   "      "   : )جعلوا أصابعهم في آذانهم(
5-              اعتبار ما كان: كقوله تعالى: كقوله تعالى: )وآتوا اليتامى أموالهم(.
6-              اعتبار ما يكون: كقوله تعالى: )إني أراني أعصر خمرا(.
7-              المحلية: كقوله تعالى: )فليدع ناديه(
8-              الحالية: كقوله تعالى: )وأما الذين ابيضت وجوههم ففي رحمة الله(.


الكناية
أ- تعريف الكناية:
الكناية: لفظ أطلق وأريد به لازم معناه مع جواز إرادة ذلك المعنى.
مثل: "فلان طويل النجاد".

ب- أقسام الكناية:
تنقسم الكناية باعتبار المكني عنه ثلاثة أقسام:
1-              أن يكون المكني عنه صفة:
مثل:
-     "فلان عريض القفا"
-     "فلان كثير الرماد".
2-              أن يكون المكني عنه موصوفا:
كقول الشاعر:
الضاربين بكل أبيض مِخذم   والطاعنين مجامع الأضغان

3-              أن يكون المكني عنه نسبة:
كقول الشاعر:
إن السماحة والمروءة والندى   في قبة ضربت على ابن الحشرج






الفصل الثاني
علـم المعـاني

تقسيم الكلام إلى خبر وإنشاء:
الكلام قسمان: خبر وإنشاء:
أ‌-      فالخبر ما يصح أن يقال لقائله إنه صادق فيه أو كاذب، فإن كان الكلام مطابقا للواقع كان قائله صادقا، وإن كان غير مطابق له كان قائله كاذبا.
مثل:
إن البخيل وإن أفاد غنى   لترى عليه مخايل الفقر
ب‌-             والإنشاء: ما لا يصح أن يقال لقائله إنه صادق فيه أو كاذب
كقول الشاعر:
لا تلق دهرك إلا غير مكترث   ما دام يصحب فيه روحك


الخبـر
أ- ركنا الخبر:
لكل جملة من جمل الخبر والإنشاء ركنان:
1-         محكوم عليه ويسمى مسندا إليه
2-         ومحكوم به ويسمى مسندا
وما زاد على ذلك غير المضاف إليه والصلة فهو قيد

ب- الغرض من إلقاء الخبر
الأصل في الخبر أن يلقي لأحد غرضين:
1-                       إفادة المخاطب الحكم الذي تضمنته الجملة ويسمى ذلك الحكم (فائدة الخبر).
مثل: ولد النبيr عام الفيل.
2-                       إفادة المخاطب أن المتكلم عالم بالحكم ويسمى ذلك (لازم الفائدة)
مثل:
"أنت تعمل في حديقتك كل يوم".
قد يلقى الخبر لأغراض أخرى تفهم من السياق، منها ما يأتي:
1-         الاسترحام: )رب إني لما أنزلت إلي من خير فقير(
2-         إظهار الضعف: )رب إني وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا(
3-         إظهار التحسر: )رب إني قومي كذبون(
4-         الفخر: كقول الشاعر:
إذا بلغ الفطام لنا صبي   تخر له الجبابرة ساجدينا
5-         الحث على السعي والجد: كقول الشاعر:
وليس أخو الحاجات من بات نائما  
                            ولكن أخوها من يبيت على وجل

ج- أضرب الخبر
للمخاطب ثلاث حالات:
أ‌-      أن يكون خالي الذهن من الحكم، وفي هذه الحال يلقى غليه الخبر من أدوات التوكيد، ويسمى هذا الضرب من الخبر ابتدائيا.
مثل: "أخوك قادم"
ب‌-    أن يكون مترددا في الحكم طلبا أن يصل على اليقين في معرفته، وفي هذه الحال يحسن توكيده له ليتمكن من نفسه، ويسمى هذا الضرب طلبيا.
مثل: "إن أخاك قادم".
ت‌-    أن يكون منكرا له، وفي هذه الحال يجب أن يؤكد الخبر بمؤكد أو أكثر على حسب إنكاره قوة وضعفا، ويسمى هذا الضرب إنكاريا.
مثل: "والله إن أخاك قادم".
لتوكيد الخبر أدوات كثيرة منها: إن، وأن والقسم، ولام الابتداء، ونونا التوكيد، وأحرف التنبيه، والحرف الزائدة، وقد، وأما الشرطية.

د- خروج الخبر عن مقتضى الظاهر
إذا ألقي الخبر خاليا من التوكيد لخالي الذهن، ومؤكدا استحسانا للسائل المتردد، ومؤكدا وجوبا للمنكر، كان ذلك الخبر جاريا على مقتضى الظاهر.
وقد يجري الخبر على خلاف ما يقتضيه الظاهر لاعتبارات يلحظها المتكلم ومن ذلك ما يأتي:
1-      أن ينزل خالي الذهن منزلة السائل المتردد إذا تقدم في الكلام ما يشير إلى حكم الخبر.
كقوله تعالى: )واصنع الفلك بأعيننا ووحينا ولا تخاطبني في الذين ظلموا إنهم مغرقون(.
2-                       أن يجعل غير المنكر كالمنكر لظهور أمارات الإنكار عليه.
كقول الشاعر:
جاء شقيق عارضا رمحه   إن بني عمك فيهم رماح
3-      أن يجعل المنكر كغير المنكر إن كان لديه دلائل وشواهد لو تأملها لارتدع عن إنكاره.
كقوله تعالى: )وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم(.

الإنشاء
الإنشاء نوعان طلبي وغير طلبي:
أ‌-                     فالطلبي ما يستدعي مطلوبا غير حاصل وقت الطلب، ويكون بالتالي:
1-         بالأمر نحو: "أحب لغيرك ما تحب لنفسك".
2-         والنهي : "لا تطلب من الجزاء إلا بقدر ما صنعت".
3-         والاستفهام: نحو:
ألا ما لسيف الدولة اليوم عاتبا   فداه الورى أمضى السيوف مضاربا
4-         والتمني، نحو:
ياليت شعري وليت الطير تخبرني   ما كان بين علي وابن عفانا
5-         والنداء، نحو:
يا من يعز علينا أن نفارقهم   وجداننا كل شيء بعدكم عدم
ب‌-             وغير الطلبي ما لا يستدعي مطلوبا، وله صيغ كثيرة منها:
1-    التعجب: نحو: "ما أحسن زيدا"، وقوله تعالى: )كيف تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم(، ونحو: "لله دره فارسا".
2-              المدح: نحو: "نعم البديل من الزلة الاعتذار"
3-              الذم، نحو: "بئس العوض من التوبة الإصرار".
4-              القسم، كقول الشاعر:
لعمرك ما بالعلم يكتسب الغنى   ولا باكتساب المال يكتسب العقل
5-              أفعال الرجاء، كقول الشاعر:
لعل انحدار الدمع يعقب راحة   من الوجد أو يشفى شجي البلابل
وقال آخر:
عسى سائل ذو حاجة إن منعته   من اليوم سؤلا أن يكون له غد
6-              صيغ العقود.

الإنشاء الطلبي
أولا: الأمر:
- الأمر: طلب الفعل على وجه الاستعلاء.
- وله أربع صيغ:
1-  فعل الأمر، نحو: "علّم الجاهل، وذاكر العالم".
2- المضارع المقرون بلام الأمر، كقوله تعالى: )وليوفوا نذورهم وليطوفوا بالبيت العتيق(
3- اسم فعل الأمر، كقوله تعالى: )عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم(.
4- المصدر النائب عن فعل الأمر، كقوله تعالى: )وبالوالدين إحسانا(، "سعيا إلى الخير".
-      قد تخرج صيغ الأمر عن معناها الأصلي إلى معان أخرى تستفاد من سياق الكلام مثل:
1.                   الإرشاد، كقوله تعالى: )إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه(.
2.                   الدعاء، كقوله تعالى: )رب أوزعني أن أشكر نعمتك(.
3.                   الالتماس، كقولك لصديقك: "اعطني الكتاب".
4.                   التمني، كقول الشاعر:
         يا ليل طل يا نوم زل   يا صبح قف لا تطلع
5.                   التخيير:
6.                   التسوية، كقوله تعالى: )فاصبروا أو لا تصبروا(.
7.                   التعجيز، كقوله تعالى: )فادرؤوا عن أنفسكم الموت(
8.                   التهديد، كقوله تعالى: )اعملوا ما شئت إنه بما تعملون بصير(.
9.                   الإباحة، نحو "تزوج هندا أو أختها".
10.           الإهانه، كقوله تعالى: )قل كونوا حجارة أو حديدا(.


ثانيا: النهي:
-                        النهي طلب الكف عن الفعل على وجه الاستعلاء
-      للنهي صيغة المضارع مع لا الناهية،كقوله تعالى: )وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا(.
-      قد تخرج صيغة النهي عن معناها الحقيقي إلى معان أخرى تستفاد من السياق وقرائن الأحوال مثل:
1.       الدعاء، كقوله تعالى: )ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا(.
2.       الالتماس، كقولك لمن يساويك: "لا تتوان عن تحصيل العلوم"
3.       التمني، نحو: "لا تطلع" في قوله:
              يا ليل طل يا نوم زل   يا صبح قف لا تطلع
4.       الإرشاد، نحو قوله تعالى: )لا تسألوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤكم(.
5.       التوبيخ، كقول الشاعر:
        لا تنه عن خلق وتأتي مثله   عار عليك إذا فعلت عظيم
6.       التيئيس، كقوله تعالى: )لا تعتذروا اليوم(.
7.       التهديد، كقولك لخادمك: "لا تطع أمري".
8.       التحقير، كقول الشاعر:
        لا تشتر العبد إلا والعصا معه   إن العبيد لأنجاس مناكيد

ثالثا: الاستفهام وأدواته:
-      الاستفهام: طلب العلم بشيء لم يكن معلوما من قبل، وله أدوات كثيرة منها:
1-             الهمزة: ويطلب بها أحد أمرين:
أ‌-  التصور وهو إدراك المفرد، وفي هذه الحال تأتي الهمزة متلوة بالمسئول عنه ويذكر له في الغالب معادل بعد "أم"، نحو: "أأنت المسافر أم أخوك؟".
ب‌-      التصديق وهو إدراك النسبة، وفي هذه الحال يمتنع ذكر المعادل، نحو: "أيصدا الذهب؟".
2-   "هل" ويطلب بها التصديق ليس غير، ويمتنع معها ذكر المعادل، نحو: "هل جاءك صديقك؟".
3-    "من" ويطلب بها تعيين العقلاء، نحو:"من أول من أسلم من الرجال؟".
4-             "ما"  ويطلب هبا شرح الاسم أو حقيقة المسمى
5-    "متى" ويطلب بها تعيين الزمان ما ضيا كان أو مستقبلا، نحو: "متى جئت؟" و "متى تذهب؟".
6-    "أيان" ويطلب بها تعيين الزمان المستقبل خاصة وتكون في موضع التهويل، كقوله تعالى: )يسألونك عن الساعة أيان مرساها(.
7-             "كيف" ويطلب بها تعيين الحال، نحو: "كيف جئت؟"؟
8-             "أين" ويطلب هبا تعيين المكان، نحو: "أين تذهب؟".
9-             "أنى" وتأتي لمعان
أ‌-  بمعنى "كيف" نحو قوله تعالى: )أنى يحيي هذه الله بعد موتها(.
ب‌-      وبمعنى "من" نحو قوله تعالى: )أنى لك هذا(.
ت‌-      وبمعنى "متى" نحو: "أنى يحضر الغائبون؟".
10-    "كم" ويطلب بها تعيين العدد نحو قوله تعالى: )كم لبثتم(.
11-    يطلب بها تمييز أحد المتشاركين في أمر يعمهما، نحو قوله تعالى: )أي الفريقين خير مقاما( ويسأل بها عن الزمان والمكان والحال والعدد والعاقل وغير العاقل على حسب ما تضاف إليه
وجميع الأدوات المتقدمة يطلب بها التصور، ولذلك يكون الجواب معها بتعيين المسئول عنه
وقد تخرج ألفاظ الاستفهام عن معانيها الأصلية لمعان أخرى تستفاد من سياق الكلام كـ:
1-    النفي، كقوله تعالى: )هل جزاء الإحسان إلا الإحسان(.
2-    الإنكار، كقوله تعالى: )أغير الله تدعون(.
3-    التقرير، كقوله تعالى: )ألم نشرح لك صرك(.
4-    التوبيخ، كقول الشاعر:
إلام الخلف بينكم إلاما   وهذه الضجة الكبرى علاما
5-    التعظيم، كقوله تعالى: )من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه(.
6-    التحقير، نحو: "أهذا الذي مدحته كثيرا".
7-    الاستبطاء، كقوله تعالى: )متى نصر الله(.
8-    التعجب، كقوله تعالى: )مال هذا الرسول يأكل الطعام ويمشي في الأسواق(.
9-    التسوية، كقوله تعالى: )سواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون(.
10-                    التمني، كقوله تعالى: )فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا(.
11-                    التشويق، كقوله تعالى: )هل أدلكم على تجارة تنجيكم من عذاب أليم(.

رابعا: التمني:
التمني طلب أمر محبوب لا يرجى حصوله:
- إما لكونه مستحيلا، كقوله:
ألا ليت الشباب يعود يوما   فأخبره بما فعل المشيب
- وإما لكونه ممكنا غير مطموع في نيله، كقول المعسر: "ليت لي ألف دينار".
اللفظ الموضوع للتمني "ليت" .
وقد يتمنى بـ "هل" و "لو" و "لعل" لغرض بلاغي.
مثل:
-     قال تعالى: )فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا(.
-    قال تعالى: )فلو أن لنا كرة فنكون من المؤمنين(.

-    قال الشاعر:
أسرب القطا هل من يعير جناحه   علي إلى من قد هويت أطير
إذا كان الأمر المحبوب مما يرجى حصوله كان طلبه ترجيا ويعبر فيه بـ "لعل" أو "عسى" كقوله تعالى: )لعل الله يحدث بعد ذلك أمرا( )فعسى الله أن يأتي بالفتح( وقد تستعمل فيه "ليت" لغرض إبراز المرجو في صورة المستحيل مبالغة في بعد نيل، كقول الشاعر:
فيا ليت ما بيني وبين أحبتي   من البعد ما بيني وبين المصائب


خامسا: النداء:
النداء طلب النداء بحرف نائب مناب أدعو
أدوات النداء ثمان هي:
(يا) و (الهمزة) و(أي) و(آ) و(آي) و(أيا) و(هيا) و(وا).
لنداء القريب منها: الهمزة وأي، وغيرهما لنداء البعيد.
وقد ينزل البعيد منزلة القريب فينادى بالهمزة وأي إشارة إلى قربه من القلب وحضوره في الذهن
وقد ينزل القريب منزلة البعيد فينادى بغير الهمزة وأي إشارة إلى:
1-         علو مرتبته، نحو: "أيا مولاي" وأنت معه.
2-         أو انحطاط منزلته، نحو: "أيا هذا" لمن هو معك".
3-         أو غفلته وشرود ذهنه، كقولك للساهي: "أيا هذا".
ويخرج النداء عن معناه الأصلي على معان أخرى تستفاد من القرائن مثل:
                                                                     1-      الزجر كقول الشاعر:
يا قلب ويحك ما سمعت لناصح   لما ارتميت ولا اتقيت ملاما
                                                                     2-      والتحسر كقول الشاعر:
            أيا قبر معن كيف واريت جوده   وقد كان منه البر والبحر مترعا
                                                                     3-      والإغراء، كقولك لمن أقبل يتظلم: "يا مظلوم تكلم".


القصر
أ- تعريف القصر:
القصر: تخصيص أمر بآخر بطريق مخصوص.

ب- طرق القصر:
طرق القصر المشهورة أربعة:
1-   النفي والاستثناء وهنا يكون المقصور عليه ما بعد أداة الاستثناء، نحو: "لا يفوز إلا المجد"، وكقوله تعالى: )إن هذا إلا نلك كريم(.
2-   إنما ويكون المقصور عليه مؤخرا وجوبا، نحو: "إنما الحياة تعب"، وكقوله تعالى: )إنما يخشى الله من عباده العلماء(.
3-   العطف بـ "لا" أو "بل" أو "لكن" فإن كان العطف بـ "لا" كان المقصور عليه مقابلا لما بعدها نحو: "الأرض متحركة لا ثابتة".
وإن كان العطف بـ "بل" أو "لكن" كان المقصور عليه ما بعدهما، نحو: "ما الأرض ثابتة بل متحركة" نحو: "ما الأرض ثابتة لكن متحركة".
4-   تقديم ما حقه التأخير وهنا يكون المقصور عليه هو المقدم، نحو: )إياك نعبد وإياك نستعين(

ج- طرفا القصر:
لكل قصر طرفان: مقصور ومقصور عليه

د- أقسام القصر:
أولا:  باعتبار طرفيه:
ينقسم القصر باعتبار طرفيه قسمين:
1-   قصر صفة على موصوف، بمعنى: أن الصفة لا تتعدى الموصوف إلى موصوف آخر، نحو: "إنما الرازق الله" "ما أمير إلا عمر" أي: لا خالد.
2-   قصر موصوف على صفة، بمعنى أن الموصوف لا يفارق الصفة إلى صفة أخرى تناقضها، نحو: "ما سعيد إلا وزير" أي: لا أمير.

ثانيا: باعتبار الحقيقة والواقع:
ينقسم القصر باعتبار الحقيقة والواقع قسمين:
      1-  حقيقي: وهو أن يختص المقصور بالمقصور عليه بحسب الحقيقة والواقع بألا يتعداه على غيره أصلا، نحو: "إنما الرازق الله".
      2-  إضافي: وهو ما كان الاختصاص فيه بحسب الإضافة إلى شيء معين، نحو: )وما محمد إلا رسول(.


الفصل والوصل

الوصل عطف جملة على أخرى بالواو، والفصل ترك هذا العطف، ولكل من الفصل والوصل مواضع خاصة

أولا: مواضع الفصل
يجب الفصل بين الجملتين في ثلاثة مواضع:
1-   أن يكون بينهما اتحاد تام، وذلك بأن تكون الجملة الثانية توكيدا للأولى أو بيانا لها أو بدلا منها، ويقال حينئذ: إن بين الجملتين "كمال الاتصال" كما في الأمثلة التالية:
-     قوله تعالى: )فمهل الكافرين أمهلهم رويدا(.
-  وقوله تعالى: )فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَى(.
-  وقوله تعالى: )وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُم بِمَا تَعْلَمُونَ{132} أَمَدَّكُم بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ{133}(
2-   أن يكون بينهما تباين تام، وذلك بأن تختلفا خبرا وإنشاء أو بألا تكون بينهما مناسبة ما، ويقال حينئذ: إن بين الجملتين "كمال الانقطاع"، نحو:
- يا صاحب الدنيا المحب لها    أنت الذي لا ينتهي تعبه
- وإنما المرء بأصغريه   كل امرئ رهن بما لديه
3-   أن تكون الثانية جوابا عن سؤال يفهم من الأولى، ويقال حينئذ: إن بين الجملتين "شبه كمال الاتصال" نحو:
ليس الحجاب بمقص عنك لي أملا  
                      إن السماء ترجى حين تحتجب

ثانيا: مواضع الوصل
يجب الوصل بين الجملتين في ثلاثة مواضع:
1-    إذا قصد اشتراكهما في الحكم الإعرابي، نحو:
وحب العيش أعبد كل حر  وعلم ساغبا أكل المرار

2- إذا اتفقا خبرا أو إنشاء وكانت بينهما مناسبة تامة، ولم يكن هناك سبب يقتضي الفصل بينهما
كقوله تعالى: )إن الأبرار لفي نعيم وإن الفجار لفي جحيم(، وقوله تعالى: )إني أشهد الله واشهدوا أني بريء مما تشركون(، وقوله: )فادع واستقم كما أمرت( ونحو: "اذهب إلى فلان وتقول له كذا".

3- إذا اختلفتا خبرا أو إنشاء وأوهم الفصل خلاف المقصود، نحو: "لا وبارك الله فيك".



الإيجاب والإطناب والمساواة

أ- المساواة:
وهو: أن تكون المعاني بقدر الألفاظ والألفاظ بقدر المعاني لا يزيد بعضها على بعض، كقوله تعالى: )وَمَا تُقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللّهِ(.
ب- الإيجاز:
وهو: جمع المعاني المتكاثرة تحت اللفظ القليل مع الإبانة والإفصاح وهو نوعان:
أ‌-   إيجاز قصر: ويكون بتضمين العبارات القصيرة معاني قصيرة من غير حذف، كقوله تعالى: )ولكم في القصاص حياة(
ب‌- إيجاز حذف: ويكون بحذف كلمة أو جملة أو أكثر مع قرينة تعيّن المحذوف، كما في الأمثلة التالية:
1- قوله تعالى: )ولم أك بغيا(.
2- قوله تعالى: )وجاهدوا في الله حق جهاده(.
3- قوله تعالى: )كان الناس أمة واحدة فبعث الله النبيين( أي: فاختلفوا فبعث الله.
4- قوله تعالى حاكيا عن أحد الفتيين الذي أرسله العزيز إلى يوسف: )فأرسلون()يوسف أيها الصديق( أي: فأرسلوني إلى يوسف لأستعبره الرؤيا، فأرسلوه، وقال له: يا يوسف.

ج- الإطناب:
وهو: زيادة اللفظ على المعنى لفائدة، نحو: )رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً( أي: كَبِرت.
ويكون بأمور عدة منها:
أ‌-         ذكر الخاص بعد العام للتنبيه على فضل الخاص، كقوله تعالى: )رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً( أي: كَبِرت.
ب‌- ذكر العام بعد الخاص لإفادة العموم مع العناية بشأن الخاص، نحو: ) رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِناً وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ(.
ت‌- الإيضاح بعد الإبهام لتقرير المعنى في ذهن السامع،نحو: ) وَقَضَيْنَا إِلَيْهِ ذَلِكَ الأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَؤُلاء مَقْطُوعٌ مُّصْبِحِينَ(
ث‌- التكرار لداع: كتمكين المعنى من النفس وكالتحسر وكطول الفصل، نحو:
               - يدعون عنتر والرماح كأنها   أشطان بئر في لبان الأدهم
                 يدعون عنتر والسيوف كأنها   لمع البوراق في سحاب مظلم
              - يا قبر معن أنت أول حفرة   من الأرض خطت للسماحة موضعا
              ويا قبر معن كيف واريت جوده   وقد كان منه البر والبحر مترعا
              - لقد علم الحي اليمانون أنني   إذا قلت أما تعد أني خطيبها
ج‌- الاعتراض: وهو أن يؤتى في أثناء الكلام أو بين كلامين متصلين في المعنى بجملة أو أكثر لا محل لها من الأعراب، نحو:
ألا زعمت بنو سعد يأتي    -ألاكذبوا- كبير السن فاني
ح‌- التذييل: وهو تعقيب الجملة بجملة أخرى تشتمل على معناها توكيدا وهو قسمان:
1-  جار مجرى المثل إن استقل معناه واستغنى عما قبله، نحو:
تزور فتى يعطي على الحمد ماله   ومن يعط أثمان المحامد يحمد
2-  غير جار مجرى المثل إن لم يستغن عما قبله، نحو:
لم يبق جودك لي شيئا أؤمله   تركتني أصحب الدنيا بلا أمل
خ‌-  الاحتراس: ويكون حينما يأتي المتكلم بمعنى يمكن أن يدخل عليه فيه لوم، فيفطن لذلك ويأتي بما يخلصه منه، نحو:
صببنا عليها ظالمين سياطنا   فطارت بها أيد سراع وأرجل







الفصل الثالث
علـم البديـع

(أ)
المحسنات اللفظية
1- الجناس:
وهو: أن يتشابه اللفظان في النطق ويختلفا في المعنى وهو نوعان:
أ‌-   تام: وهو ما اتفق فيه اللفظان في أمور أربعة هي: نوع الحروف وشكلها وعددها وترتيبها، كقوله تعالى: ) وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ (.
ب‌- غير تام: وهو ما اختلف فيه اللفظان في واحد من الأمور الأربعة المتقدمة، كقوله تعالى: )فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ{9} وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ{10}(.


2- الاقتباس:
هو: تضمين النثر أو الشعر شيئا من القرآن الكريم أو الحديث الشريف من غير دلالة على أنه منهما، ويجوز أن يغير في الأثر المقتبس قليلا.
كقول بعضهم: "لا تغرنك من الظلمة كثرة الجيوش والأنصار "إنما نؤخرهم ليوم تشخص فيه الأبصار".
وقول الشاعر:
رحلوا فلست مسائلا عن دراهم    أنا "باخع نفسي على آثارهم".

3- السجع:
هو: توافق الفاصلتين في الحرف الأخير وأفضله ما تساوت فِقَرُه.
نحو: "اللهم أعط منفقا خلفا، وأعط ممسكا تلفا".

(ب)
المحسنات المعنوية
1- التورية:
هي: أن يذكر المتكلم لفظا مفردا له معنيان قريب ظاهر غير مراد وبعيد خفي هو المراد، نحو:
أصون أديم وجهي عن أناس   لقاء الموت عندهم الأديب
ورب الشعر عندهم بغيض   ولو وافى به لهم "حبيب"

2- الطباق:
هو: الجمع بين الشيء وضده في الكلام وهو نوعان:
أ- طباق الإيجاب: وهو ما لم يختلف فيه الضدان إيجابا وسلبا، كقوله تعالى: )  هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ(.
طباق السلب: وهو ما اختلف فيه الضدان إيجابا أو سلبا، كقوله تعالى: )يستخفون من الناس ولا يستخفون من الناس(.

3- المقابلة:
هي: أن يؤتى بمعنيين أو أكثر ثم يؤتى بما يقابل ذلك على الترتيب
كقوله r: "إنكم لتكثرون عند الفزع، وتقلون عند الطمع".
4- حسن التعليل:
هو: أن ينكر الأديب صراحة أو ضمنا علة الشيء المعروفة، ويأتي بعلة أدبية طريفة تناسب الغرض الذي يقصد، نحو:
وما كلفة البدر المنير قديمة   ولكنها في وجهه أثر اللطم

5، 6- تأكيد المدح بما يشبه الذم وعكسه:
تأكيد المدح بما يشبه الذم ضربان:
أ‌-                     أن يستثنى من صفة ذم منفية صفة مدح، نحو:
          ليس به عيب سوى أنه   لا تقع العين على شبهه
ب‌-    أن يثبت لشيء صفة مدح ويؤتى بعدها بأداة استثناء تليها صفة مدح أخرى، نحو:
ولا عيب في معروفهم غير أنه   يبين عجز الشاكرين عن الشكر
وتأكيد الذم بما يشبه المدح ضربان:
أ‌-      أن يستثني من صفة مدح منفية صفة ذم، نحو: "لا جمال في الخطبة إلا أنها طويلة في غير فائدة".
ب‌-    أن يثبت لشيء صفة ذم ثم يؤتى بعدها بأداة استثناء تليها صفة ذم أخرى، نحو: "القوم شحاح إلا أنهم جبناء".

7- أسلوب الحكيم:
هو تلقي الخطاب بغير ما يرتقبه، إما بترك سؤاله والإجابة عن سؤال لم يسأله، وإما بحمل كلامه على غير ما كان يقصد إشارة إلى أنه كان ينبغي له أن يسأل هذا السؤال أو يقصد هذا المعنى.
كقوله تعالى: : ) يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ(.
وقوله تعالى: ) يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ(.



والحمد لله رب العالمين